Dewasa ini, kita dapat membandingkan antara kegairahan kita dalam diskusi daya magis agama sepanjang sejarah peradaban manusia dan kegairahan kita berbicara tentang komputer sejak era 1980-an. Agama dan komputer telah berpengaruh besar pada pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku manusia dalam usahanya memaknai diri di tengah relasi dengan sesama dan realitas lain di sekelilingnya.
Di negara-negara maju, komputer jadi way of life dari masyarakat. Sebagai way of life,
mereka menggunakan komputer untuk mengakses berbagai informasi dari
berbagai belahan dunia lewat sistem jaringan internet. Informasi
menjadi bagian penting dari proses pematangan mentalitas,
emosionalitas, dan kesadaran diri. Tetapi, di Indonesia, komputer
masih langka sehingga lebih dari separuh rakyat Indonesia terisolasi
dari informasi. Kelangkaan tersebut disebabkan oleh sumber daya
manusia pemerintahan yang belum maksimal mengelola informasi sebagai
aset bagi proses perubahan sosial, budaya, ekonomi, politik, budaya,
dan pertahanan-keamanan menuju masyarakat beradab (civil society). Persoalannya adalah bagaimana masyarakat Indonesia bisa membangun civil society dalam kondisi minimnya sarana sumber informasi?
Komputer menjadi sarana vital globalisasi. Ia membantu kita mengakses berbagai informasi strategis seputar tatanan masyarakat global. Fungsinya yang strategis bisa menjadi konstruktif sekaligus destruktif bagi masyarakat. David J. Bolter mendeskripsikan situasi ini (Turing’s Man : Western Culture in the Computer Age, 1984), seperti dikutip Dennis C. Smolarski (1988), bahwa komputer telah menentukan bagaimana kita bertindak dan mendefinisikan diri sendiri di tengah sesama dan lingkungan hidup. Dengan kata lain, komputer mampu me-”manusia”-kan diri sendiri.
Komputer menjadi sarana vital globalisasi. Ia membantu kita mengakses berbagai informasi strategis seputar tatanan masyarakat global. Fungsinya yang strategis bisa menjadi konstruktif sekaligus destruktif bagi masyarakat. David J. Bolter mendeskripsikan situasi ini (Turing’s Man : Western Culture in the Computer Age, 1984), seperti dikutip Dennis C. Smolarski (1988), bahwa komputer telah menentukan bagaimana kita bertindak dan mendefinisikan diri sendiri di tengah sesama dan lingkungan hidup. Dengan kata lain, komputer mampu me-”manusia”-kan diri sendiri.
Situasi dilematis manusia
Smolarski, dalam refleksinya, The Spirituality of Computers (Spirituality Today, Winter 1988, Vol. 40 No. 4, pp. 292 -307) mendeskripsikan posisi komputer sejajar dengan fungsi kendaraan, pesawat terbang, telpon, radio, dan televisi. Yaitu,
mereka membuat hidup kita kian lebih praktis sekaligus lebih kompleks.
Teknologi komunikasi informasi yang baru ini (komputer)
berkapasitas untuk mempertinggi penghargaan kita terhadap ciptaan yang
sungguh-sungguh mengagumkan. Dengan bantuan alat-alat tadi, kita
dapat bekerja lebih efisien dan efektif. Tidak hanya di bidang ilmu
pengetahuan dan bisnis, tetapi juga dalam berbagai upaya kegiatan
kemanusiaan seperti peace building, keadilan, toleransi, pendidikan, dan pengembangan sumber daya manusia.
Bertolak dari
pengalaman kehadiran agama di tengah umat manusia, Smolarski
memprediksi komputer dengan berbagai perangkat sistemnya yang
canggih, akan berpengaruh posifit dan negatif pada kita, tetapi
semuanya itu bergantung pada bagaimana kita sendiri memanfaatkannya.
Pendapat
Smolarski, tentang kelebihan komputer itu merupakan hasil
pengamatannya sendiri pada prinsip kerja komputer. Komputer bekerja
pada prinsip ”setiap saat, setiap waktu interaktif”, sehingga ia
mengatasi hambatan ruang dan waktu. Misalnya, seorang fotografer di
lapangan bisa menyiapkan foto ke kantor pusat redaksinya hanya dalam
hitungan menit bila ia memakai kamera sistem digital. Bayangkan jika
seorang fotografer, yang meliput berbagai peristiwa menarik (seperti
ulah para supporter, aksi para pemain sepak bola plus
pelatihnya, obyek wisata dan sebagainya) seputar liga-liga di kawasan
Eropa dan yang meliput berbagai peristiwa (demo, dialog, sidang, dan
sebagainya) di berbagai belahan dunia, harus mencuci dulu filmnya di
studio atau harus ke kantor, maka akan memerlukan waktu lama, dan
mereka akan ketinggalan peristiwa di lapangan.
Komputer pun melalui perangkat khusus sistem internet telah membantu
para wartawan cetak bisa melaporkan dan memantau berita dengan cepat
dan cermat dari berbagai belahan dunia, yang berjarak ribuan
kilometer. ”Melalui internet kita bisa menjangkau seluruh dunia. Kita
bisa melihat apa yang terjadi di berbagai belahan dunia. Sebelumnya
itu tak mungkin,” kata Peter Kuiper, seorang pakar teknologi informasi,
seperti dikutip Endang Roh Suciati (2000).
Jasa internet, misalnya, telah membuka mata masyarakat internasional
apa motivasi terselubung USA untuk menyerang Irak. Kecaman terhadapa
USA kemudian merupakan gerakan moral terbesar sepanjang sejarah umat
manusia untuk menentang adanya peperangan atas negara lain. Saat
ini, di Indonesia, ada gerakan 1.000.000 facebookers dukung
Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto untuk reformasi sistem
penegakan hukum di Indonesia. Gerakan ini membuka kotak pandora
konspirasi yang melemahkan sistem hukum selama ini.
Di sisi lain, komputer pun bisa mengganggu proses terbentuknya civil society bila digunakan untuk hal-hal destruktif seperti hacker
yang menciptakan virus untuk mengganggu sistem informasi dan
komunikasi dengan melakukan transaksi palsu, penyadapan yang melanggar
privasi orang, pornografi yang bebas, dan berbagai kasus kejahatan
dunia maya lainnya.
Berbagai
problem yang muncul, menurut Smolarski, lebih merupakan akibat
penyalahgunaan oleh kita sendiri. Banyak orang masih terbelenggu oleh
obsesi lebih mementingkan diri sendiri daripada kesejahteraan
bersama dan keutuhan lingkungan hidup. Smolarski menyebut pembalikan
fungsi ini sebagai penyalagunaan rahmat ilahi. Perkembangan komputer
dalam budaya manusia, lanjutnya, merupakan suatu perkembangan ”ilmu
pengetahuan” informasi. Tetapi, perkembangan itu malah tidak membuat
kita lebih dekat kepada kemanusiaan universal.
Gap ini muncul dari kekeliruan kita dalam memilih informasi untuk
berelasi dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri, sesama dan Tuhan.
H. Bastian, seorang teolog-pedagog, seperti dikutip Robert Bala
(2003), mengingatkan bahwa sibernetik merupakan bagian khusus dari
komunikasi yang diartikan sebagai kontak yang terjalin melalui
informasi. Tanpa informasi, maka komunikasi akan kehilangan gairah.
Dalam
konteks Indonesia, ada persoalan bagaimana kita bisa berkomunikasi
dalam kenyataan pluralitas dan heterogenitas keindonesiaan? Di manakah
teridentifikasi berbagai hambatan komunikasi selama ini? Persoalan
ini selalu mempunyai kemendesakan tersendiri mengingat mayoritas
masyarakat Indonesia beragama. Selama ini, lantaran salah kelola
informasi, umat beragama menodai jati diri agamanya yang sejati, yaitu
agama yang berpihak kepada kepentingan kemanusiaan, menegakkan
keadilan, peduli pada rakyat, dan menghindari kekerasan. Bagaimana
memulihkan jati diri agama yang sejati di dalam setiap pribadi
penganutnya? Smolarski memang tak memberikan solusi cepat saji. Ia
menekankan pentingnya proses menuju kesadaran diri dan sosial yang
berlandaskan komunikasi ”kasih” sebagai bahasa universal.
Informasi demi Integrasi
Komputer bukan hanya sebagai wujud perkembangan teknologi informasi,
tetapi juga bentuk integrasinya berbagai aspek kehidupan kita.
Komputer berperan dalam usaha penyadaran mentalitas yang masih
berpusat pada egoisme dan fanatisme. Agama, misalnya, hendaknya cepat
tanggap terhadap peluang ini untuk mensosialisasikan nilai-nilai
religiusnya dalam berbagai aspek kehidupan kita. Begitu pula negara
agar menyediakan berbagai perangkat hukum yang mengatur masyarakat
dalam aplikasi kecanggihan teknologi informasi ini.
Kolaborasi antara efisiensi komputer dan berbagai bidang kehidupan
merupakan berbagai kemungkinan yang tak dapat kita hindari. Maka
bukan zamannya lagi untuk mengkotak-kotakkan bidang ilmu secara
ketat, karena makin disadari ilmu pengetahuan pada hakikatnya,
menurut Edward O. Wilson (Consilience : The Unity of Knowledge, 1998), merupakan satu kesatuan.
Pematangan mentalitas dan emosionalitas bersikap dan berprilaku
rasional dan bijak atas fungsi komputer mutlak menjadi satu paket
dengan pendidikan transfer teknologi informasi kepada berbagai
lapisan masyarakat. Perbedaan peran komputer sebagai sarana
konstruktif atau sarana destruktif bagi kita, menurut Smolarski,
tampaknya sederhana, yaitu kesadaran sosial. Kesadaran sosial
menentukan sebuah pilihan apa yang berpengaruh pada diri sendiri,
sesama dan lingkungan. Dengan demikian, komputer bisa menjadi sarana
kontrol sosial konstruktif atau destruktif bagi berbagai perkembangan
bidang hidup kita hanya tergantung pada bagaimana mentalitas kita
memanfaatkannya.
0 komentar:
Posting Komentar